Sabtu, 22 Maret 2014

Kesenian Yang Ada Di Kabupaten Hulu Sungai Selatan

Potensi Wisata Budaya di Kabupaten Hulusungai Selatan
Obyek wisata yang ada di Kabupaten Hulu Sungai Selatan adalah :
- ARUH ADAT MASYARAKAT DAYAK MERATUS
Aruh adalah salah satu upacara ritual yang mengiringi kebudayaan huma dari Suku Dayak Meratus yang mendiami kaki hunjuran Pegunungan Meratus di Kecamatan Loksado Kabupaten Hulu Sungai Selatan.
- KESENIAN TRADISIONAL HULU SUNGAI SELATAN
Kabupaten Hulu Sungai Selatan merupakan daerah yang banyak menyimpan keragaman kesenian tradisional. Berbagai ragam seni tumbuh di daerah ini, baik seni peran, seni tutur, seni lukis, seni tari, seni musik berkembang di daerah ini, bahkan ada yang menyebar ke daerah lainnya di Provinsi Kalimantan Selatan.

Kesenian tradisional tersebut, yaitu :
1. MAMANDA

Mamanda adalah seni teater atau pementasan tradisional yang berasal dari Kalimantan Selatan. Dibanding dengan seni pementasan yang lain, Mamanda lebih mirip dengan Lenong dari segi hubungan yang terjalin antara pemain dengan penonton. Interaksi ini membuat penonton menjadi aktif menyampaikan komentar-komentar lucu yang disinyalir dapat membuat suasana jadi lebih hidup.[1]
Bedanya, Kesenian lenong kini lebih mengikuti zaman ketimbang Mamanda yang monoton pada alur cerita kerajaan. Sebab pada kesenian Mamanda tokoh-tokoh yang dimainkan adalah tokoh baku seperti Raja, Perdana Menteri, Mangkubumi, Wazir, Panglima Perang, Harapan Pertama, Harapan kedua, Khadam (Badut/ajudan), Permaisuri dan Sandut (Putri).[1]
Tokoh-tokoh ini wajib ada dalam setiap Pementasan. Agar tidak ketinggalan, tokoh-tokoh Mamanda sering pula ditambah dengan tokoh-tokoh lain seperti Raja dari Negeri Seberang, Perompak, Jin, Kompeni dan tokoh-tokoh tambahan lain guna memperkaya cerita.
Disinyalir istilah Mamanda digunakan karena di dalam lakonnya, para pemain seperti Wazir, Menteri, dan Mangkubumi dipanggil dengan sebutan pamanda atau mamanda oleh Sang Raja. Mamanda secara etimologis terdiri dari kata "mama" (mamarina) yang berarti paman dalam bahasa Banjar dan “nda” yang berarti terhormat. Jadi mamanda berarti paman yang terhormat. Yaitu “sapaan” kepada paman yang dihormati dalam sistem kekerabatan atau kekeluargaan.[1]
Seni drama tradisional Mamanda ini sangat populer di kalangan masyarakat kalimantan pada umumnya. Bahkan, beberapa waktu silam seni lakon Mamanda rutin menghiasi layar kaca sebelum hadirnya saluran televisi swasta yang turut menyaingi acara televisi lokal. Tak heran kesenian ini sudah mulai jarang dipentaskan.
Dialog Mamanda lebih kepada improvisasi pemainnya. Sehingga spontanitas yang terjadi lebih segar tanpa ada naskah yang mengikat. Namun, alur cerita Mamanda masih tetap dikedepankan. Disini Mamanda dapat dimainkan dengan naskah yang utuh atau inti ceritanya saja.

2. WAYANG GONG

A.Sejarah singkat
            Wayang Gong nerupakan cabang dari kesenian wayang, yang tidak lepas dari induknya. Menurut G.A.J. Hazeu dan J.L.A. Brandes yang meneliti kesenian wayang, diperoleh suatu kesimpulan bahwa kesenian wayang di Indonesia berinduk kepada kebudayaan asli Jawa, meskipun ceritera yang ditampilkan disadur dari pengaruh kebuayaan Hindu.
Bentuk kesenian yang tertua adalah wayang purwa, dari sini kemudian berkembang menjadi jenis-jenis wayang yang beragam.
            Di Kalimantan Selatan seni wayang jelas menunjukan pengaruh dari Jawa. Dengan embandingkan jenis wayang kulit Banjar dengan Wayang kulit Jawa bahkan dapat diketahi bahwa bentuk wayang, lakon dan kelengkapannya menunjukkan adanya kesamaan-kesamaan dengan wayang Jawa, di segi lain ukuran wayang, bahasa yang digunakan serta tata cara pementasan sudah menunjukkan adanya perkembangan yang khas sebagai “Wayang Banjar”.
            Sejarah wayang di Kalimantan Selatan secara kronologis belum diketahui detilnya. Dalam “Hikayat Banjar” disebutkan bahwa seni wayang sudah tumbuh di Kalimantan Selatan sejak adanya Kerajaan Dipa. “….. Bawayang Wong, menopeng, bawayang gadogan, bawayang purwa, babaksan….” Merupakan kesenian yang biasa dipertunjukkan di Kerajaan Dipa. Apabila latar belakang Kerajaan Dipa diperkirakan pada abad XIV, maka seni wayang di Kalimantan Selatan sejak hamper 6 abad silam. Dari kutipan tersebut diketahui bahwa Wayang Gong belum disebut-sebut. Maka semakin jelas bahwa Wayang Gong bukan pengaruh langsung dari Jawa, melainkan perkembangan khas Kalimantan Selatan.
            Menurut penuturan para seniman Wayang Gong, jenis wayang tersebut muncul setelah Wayang Orang Banjar sudah terlalu jauh berkembang baik  ceritera maupun pementasannya. Wayang orang terlalu banyak melakonkan kisah-kisah syair di luar pakam. Seni pentasnya juga cenderung surut. Maka Wayang Gong merupakan kreasi yang ingin mengangkat kembali kesenian di tengah masyarakat Banjar.
            Kisah syair yang sering ditampilkan dalam wayang orang adalah “syair Abdul Muluk” dari Melayu, selain itu kisah saduran “Damarwulan”. Maka kemudian  sangat dikenal  adanya Seni Abdul Muluk atau “Bada Muluk” dan juga “Badamarwulanan”. Perkembangan selanjutnya, abdul Muluk berkembang menjadi dua yaitu bdul Muluk cabang yaitu Abdul Muluk yang menggunakan “cabang” ( kuluk atau katopang) yang kemudian lebih dikenal sebagai “Wayang Gong”. Sedangkan yang lainnya adalah Abdul Muluk Ceritera, yang kemudian dikenal sebagai “Mamanda”. Wayang Gong sendiri kemudian menurunkan kesenian “Kuda Gepang Cerita” dan Tarian Kuda Gepang.
            Sampai sat ini masih dapat disksikan antara kesenian-kesenian tersebut memiliki unsur pementasan (dalam hal ini kostum-baju dan gamelan) yang sama. Hal itu menunjukkan bahwa perkembangannya antara atu dengan yang lain sangat erat, bahkan mempunyai akar yang sama.
            Adapun antara “wayang orang” dengan “wayang Gong” dibedakan berdasarkan beberapa ciri, antara lain:
  1. Wayang orang mengambil kisah dari pakem Mahabharata, sedangkan wayang Gong selalu dari pakem Ramayana.
  2. Wayang orang tidak membedakan secara nyata tokoh perannya berdasarkan kostum yang dikenakan (meskipun terdapat penekanan tertentu untuk mendukung karakter), sedangkan wayang Gong membedakan tokohnya dengan kostum tutup kepala yang disebut “katopon” atau “cabang”, atau “kuluk” yang masing-masing menggambarkan tokoh
  3. Wayang Orang lebih bebas sehingga dapat melakonkan kisah-kisah yang disadur dari kitab-kitab syair Melayu-Banjar, sedangkan Wayang Gong berdasarkan katopong yang dikenakan, lebih terikat kepada pakem Ramayana.

Wayang Gong pada kurun waktu tertentu mempunyai peranan penting dalam sejarah seni pertunjukan di Kalimantan Selatan. Tidak seperti pada Wayang Orang,  Wayang Gong lebih luas perkembangannnya di Kalimantan selatan. Hampir pada daerah yang berkembang wayang kulitnya, tumbuh dan berkembang pula wayang Gong nya.
                        Akan tetapi perkembangan terakhir Wayang Gong dinilai kurang menggembirakan. Hal ini berkaitan dengan arus perubahan yang terjadi sangat kuat menerpa tatanan kehidupan tradisional. Maka saat ini, kesenian Wayang Gong mulai jarang dipentaskan.Kelompok-kelompok kesenian tersebut jumlahnya juga semakin surut. Sehingga tidak mengherankan saat ini tidak ada lagi kelompok kesenian Wayang Gong yang lengkap untuk pementasan besar, yang dipentaskan semalam suntuk.
Sebab-sebab dari surutnya kesenian wayang Gong antara lain, karena :
  • Minimnya pemain yang sungguh-sungguh menekuni kesenian ini. Dengan bekal-bekal yang seadanya, seseoprang bermain Wayang Gong hanya “beramaian” atau turut meramaikan saja sehingga nilai semuanya dan kandungan filosofinya tidak diperhatikan
  • Adanya kebiasaan tidak baik dari sementara dalang di wilayah ini, yang tidak mau menyampaikan pengetahuannya tentang wayang kepada orang yang bukan keluarganya.-
 3. MADIHIN

Madihin (berasal dari kata madah dalam bahasa Arab yang berarti "nasihat", tapi bisa juga berarti "pujian") adalah sebuah genre puisi dari suku Banjar. Puisi rakyat anonim bergenre Madihin ini cuma ada di kalangan etnis Banjar di Kalsel saja. Sehubungan dengan itu, definisi Madihin dengan sendirinya tidak dapat dirumuskan dengan cara mengadopsinya dari khasanah di luar folklor Banjar.
Tajuddin Noor Ganie (2006) mendefinisikan Madihin dengan rumusan sebagai berikut : puisi rakyat anonim bertipe hiburan yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar dengan bentuk fisik dan bentuk mental tertentu sesuai dengan konvensi yang berlaku secara khusus dalam khasanah folklor Banjar di Kalsel.

Bentuk fisik

Masih menurut Ganie (2006), Madihin merupakan pengembangan lebih lanjut dari pantun berkait. Setiap barisnya dibentuk dengan jumlah kata minimal 4 buah. Jumlah baris dalam satu baitnya minimal 4 baris. Pola formulaik persajakannya merujuk kepada pola sajak akhir vertikal a/a/a/a, a/a/b/b atau a/b/a/b. Semua baris dalam setiap baitnya berstatus isi (tidak ada yang berstatus sampiran sebagaimana halnya dalam pantun Banjar) dan semua baitnya saling berkaitan secara tematis.
Madihin merupakan genre/jenis puisi rakyat anonim berbahasa Banjar yang bertipe hiburan. Madihin dituturkan di depan publik dengan cara dihapalkan (tidak boleh membaca teks) oleh 1 orang, 2 orang, atau 4 orang seniman Madihin (bahasa Banjar Pamadihinan). Anggraini Antemas (dalam Majalah Warnasari Jakarta, 1981) memperkirakan tradisi penuturan Madihin (bahasa Banjar : Bamadihinan) sudah ada sejak masuknya agama Islam ke wilayah Kerajaan Banjar pada tahun 1526.
Biasanya, kesenian madihin dimainkan pada malam hari, namun di masa sekarang juga dapat lakukan di siang hari sesuai permintaan. Madihin biasanya dimainkan selama 1 sampai 2 jam. Jika dahulu madihin biasa dilakukan di tempat terbuka, seperti halaman atau lapangan yang luas, dengan panggung ukuran 4x3 meter, sekarang madihin sering dipertunjukkan di dalam gedung pertunjukan.

Struktur Madihin

Dalam pertunjukannya, madihin mempunyai struktur baku bagi semua pemadihin, yaitu:
1. Pembukaan, dengan menyanyikan sampiran sebuah pantun yang diawali dengan pukulan tarbang yang disebut pukulan membuka. Pada sampiran ini biasanya menyangkut tema yang akan dibawakan pemadihin.
2. Memasang tabi, yakni membawakan syair-syair atau pantun yang isinya menghormati penonton, memberikan pengantar, terima kasih atau permohonan maaf jika nanti ada salah kata dalam membawakan madihin.
3. Menyampaikan isi (manguran), yaitu menyampaikan syair atau pantun yang isinya sesuai dengan tema acara atau permintaan panitia. Sebelum isi dari tema madihin dikupas oleh pamadihinan, sampiran pantun di awal harus disampaikan isinya terlebih dahulu (mamacah bunga).
4. Penutup, yakni menyampaikan kesimpulan, sambil menghormati penonton, mohon pamit, dan ditutup dengan pantun penutup.

Status Sosial dan Sistem Mata Pencaharian Pamadihinan

Madihin dituturkan sebagai hiburan rakyat untuk memeriahkan malam hiburan rakyat (bahasa Banjar Bakarasmin) yang digelar dalam rangka memperintai hari-hari besar kenegaraan, kedaerahan, keagamaan, kampanye partai politik, khitanan, menghibur tamu agung, menyambut kelahiran anak, pasar malam, penyuluhan, perkawinan, pesta adat, pesta panen, saprah amal, upacara tolak bala, dan upacara adat membayar hajat (kaul, atau nazar).
Orang yang menekuni profesi sebagai seniman penutur Madihin disebut Pamadihinan. Pamadihinan merupakan seniman penghibur rakyat yang bekerja mencari nafkah secara mandiri, baik secara perorangan maupun secara berkelompok.
Setidak-tidaknya ada 6 kriteria profesional yang harus dipenuhi oleh seorang Pamadihinan, yakni : (1) terampil dalam hal mengolah kata sesuai dengan tuntutan struktur bentuk fisik Madihin yang sudah dibakukan secara sterotipe, (2) terampil dalam hal mengolah tema dan amanat (bentuk mental) Madihin yang dituturkannya, (3) terampil dalam hal olah vokal ketika menuturkan Madihin secara hapalan (tanpa teks) di depan publik, (4) terampil dalam hal mengolah lagu ketika menuturkan Madihin, (5) terampil dalam hal mengolah musik penggiring penuturan Madihin (menabuh gendang Madihin), dan (6) terampil dalam hal mengatur keserasian penampilan ketika menuturkan Madihin di depan publik.
Tradisi Bamadihinan masih tetap lestari hingga sekarang ini. Selain dipertunjukkan secara langsung di hadapan publik, Madihin juga disiarkan melalui stasiun radio swasta yang ada di berbagai kota besar di Kalsel. Hampir semua stasiun radio swasta menyiarkan Madihin satu kali dalam seminggu, bahkan ada yang setiap hari. Situasinya menjadi semakin bertambah semarak saja karena dalam satu tahun diselenggarakan beberapa kali lomba Madihin di tingkat kota, kabupaten, dan provinsi dengan hadiah uang bernilai jutaan rupiah.
Tidak hanya di Kalsel, Madihin juga menjadi sarana hiburan alternatif yang banyak diminati orang, terutama sekali di pusat-pusat pemukiman etnis Banjar di luar daerah atau bahkan di luar negeri. Namanya juga tetap Madihin. Rupa-rupanya, orang Banjar yang pergi merantau ke luar daerah atau ke luar negeri tidak hanya membawa serta keterampilannya dalam bercocok tanam, bertukang, berniaga, berdakwah, bersilat lidah (berdiplomasi), berkuntaw (seni bela diri), bergulat, berloncat indah, berenang, main catur, dan bernegoisasi (menjadi calo atau makelar), tetapi juga membawa serta keterampilannya bamadihinan (baca berkesenian).
Para Pamadihinan yang menekuni pekerjaan ini secara profesional dapat hidup mapan. Permintaan untuk tampil di depan publik relatif tinggi frekwensinya dan honor yang mereka terima dari para penanggap cukup besar, yakni antara 500 ribu sampai 1 juta rupiah. Beberapa orang di antaranya bahkan mendapat rezeki nomplok yang cukup besar karena ada sejumlah perusahaan kaset, VCD, dan DVD di kota Banjarmasin yang tertarik untuk menerbitkan rekaman Madihin mereka. Hasil penjualan kaset, VCD, dan DVD tersebut ternyata sangatlah besar.
Pada zaman dahulu kala, ketika etnis Banjar di Kalsel masih belum begitu akrab dengan sistem ekonomi uang, imbalan jasa bagi seorang Pamadihinan diberikan dalam bentuk natura (bahasa Banjar : Pinduduk). Pinduduk terdiri dari sebilah jarum dan segumpal benang, selain itu juga berupa barang-barang hasil pertanian, perkebunan, perikanan, dan peternakan.

Keberadaan Madihin di Luar Daerah Kalsel

Madihin tidak hanya disukai oleh para peminat domestik di daerah Kalsel saja, tetapi juga oleh para peminat yang tinggal di berbagai kota besar di tanah air kita. Salah seorang di antaranya adalah Pak Harto, Presiden RI di era Orde Baru ini pernah begitu terkesan dengan pertunjukan Madihin humor yang dituturkan oleh pasangan Pamadihinan dari kota Banjarmasin Jon Tralala dan Hendra. Saking terkesannya, beliau ketika itu berkenan memberikan hadiah berupa ongkos naik haji plus (ONH Plus) kepada Jon Tralala. Selain Jhon Tralala dan Hendra, di daerah Kalsel banyak sekali bermukim Pamadihinan terkenal, antara lain : Mat Nyarang dan Masnah pasangan Pamadihinan yang paling senior di kota Martapura), Rasyidi dan Rohana(Tanjung), Imberan dan Timah (Amuntai), Nafiah dan Mastura Kandangan), Khair dan Nurmah (Kandangan), Utuh Syahiban Banjarmasin), Syahrani (Banjarmasin), dan Sudirman(Banjarbaru). Madihin mewakili Kalimantan Timur pada Festival Budaya Melayu.

Datu Madihin, Pulung Madihin, dan Aruh Madihin

Pada zaman dahulu kala, Pamadihinan termasuk profesi yang lekat dengan dunia mistik, karena para pengemban profesinya harus melengkapi dirinya dengan tunjangan kekuatan supranatural yang disebut Pulung. Pulung ini konon diberikan oleh seorang tokoh gaib yang tidak kasat mata yang mereka sapa dengan sebutan hormat Datu Madihin.
Pulung difungsikan sebagai kekuatan supranatural yang dapat memperkuat atau mempertajam kemampuan kreatif seorang Pamadihinan. Berkat tunjangan Pulung inilah seorang Pamadihinan akan dapat mengembangkan bakat alam dan kemampuan intelektualitas kesenimanannya hingga ke tingkat yang paling kreatif (mumpuni). Faktor Pulung inilah yang membuat tidak semua orang Banjar di Kalsel dapat menekuni profesi sebagai Pamadihinan, karena Pulung hanya diberikan oleh Datu Madihin kepada para Pamadihinan yang secara genetika masih mempunyai hubungan darah dengannya (hubungan nepotisme).
Datu Madihin yang menjadi sumber asal usul Pulung diyakini sebagai seorang tokoh mistis yang bersemayam di Alam Banjuran Purwa Sari, alam pantheon yang tidak kasat mata, tempat tinggal para dewa kesenian rakyat dalam konsep kosmologi tradisonal etnis Banjar di Kalsel. Datu Madihin diyakini sebagai orang pertama yang secara geneologis menjadi cikal bakal keberadaan Madihin di kalangan etnis Banjar di Kalsel.
Konon, Pulung harus diperbarui setiap tahun sekali, jika tidak, tuah magisnya akan hilang tak berbekas. Proses pembaruan Pulung dilakukan dalam sebuah ritus adat yang disebut Aruh Madihin. Aruh Madihin dilakukan pada setiap bulan Rabiul Awal atau Zulhijah. Menurut Saleh dkk (1978:131), Datu Madihin diundang dengan cara membakar dupa dan memberinya sajen berupa nasi ketan, gula kelapa, 3 biji telur ayam kampung, dan minyak likat baboreh. Jika Datu Madihin berkenan memenuhi undangan, maka Pamadihinan yang mengundangnya akan kesurupan selama beberapa saat. Pada saat kesurupan, Pamadihinan yang bersangkutan akan menuturkan syair-syair Madihin yang diajarkan secara gaib oleh Datu Madihin yang menyurupinya ketika itu. Sebaliknya, jika Pamadihinan yang bersangkutan tidak kunjung kesurupan sampai dupa yang dibakarnya habis semua, maka hal itu merupakan pertanda mandatnya sebagai Pamadihinan telah dicabut oleh Datu Madihin. Tidak ada pilihan bagi Pamadihinan yang bersangkutan, kecuali mundur teratur secara sukarela dari panggung pertunjukan Madihin


5. MUSIK PANTING

Musik Panting[1] adalah musik tradisional dari suku Banjar di Kalimantan Selatan. Disebut musik Panting karena didominasi oleh alat musik yang dinamakan Panting, sejenis gambus yang memakai senar (panting) maka disebut musik Panting.

Sejarah

Pada awalnya musik Panting berasal dari daerah Tapin, Kalimantan Selatan. Panting merupakan alat musik yang dipetik yang berbentuk seperti gambus Arab tetapi ukurannya lebih kecil. Pada waktu dulu musik panting hanya dimainkan secara perorangan atau secara solo. Karena semakin majunya perkembangan zaman dan musik Panting akan lebih menarik jika dimainkan dengan beberapa alat musik lainnya, maka musik panting sekarang ini dimainkan dengan alat-alat musik seperti babun, gong,dan biola dan pemainnya juga terdiri dari beberapa orang. Nama musik panting berasal dari nama alat musik itu sendiri, karena pada musik Panting yang terkenal alat musiknya dan yang sangat berperan adalah Panting, sehingga musik tersebut dinamai musik panting. Orang yang pertama kali memberi nama sebagai musik Panting adalah A. Sarbaini. Dan sampai sekarang ini musik Panting terkenal sebagai musik tradisional yang berasal dari Kalimantan Selatan.

Tokoh-tokoh

Pada umumnya orang yang memainkan musik Panting adalah masyarakat Banjar. Tokoh yang paling terkenal sebagai pemain Panting adalah A. Sarbaini. Dan ada juga grup-grup musik Panting yang lain. Tetapi sekarang ini seiring dengan adanya perkembangan zaman grup musik Panting menjadi semakin sedikit bahkan jarang ditemui.

Alat-alat musik

Alat-alat musik Panting terdiri dari :
  • Panting, alat musik yang berbentuk seperti gabus Arab tetapi lebih kecil dan memiliki senar. Panting dimainkan dengan cara dipetik.
  • Babun, alat musik yang terbuat dari kayu berbentuk bulat, ditengahnya terdapat lubang, dan di sisi kanan dan kirinya dilapisi dengan kulit yang berasal dari kulit kambing. Babun dimainkan dengan cara dipukul.
  • Gong, biasanya terbuat dari aluminium berbentuk bulat dan ditengahnya terdapat benjolan berbentuk bulat. Gong dimainkan dengan cara dipukul.
  • Biola, sejenis alat gesek.
  • Suling bambu, dimainkan dengan cara ditiup.
  • Ketipak, bentuknya mirip tarbang tetapi ukurannya lebih kecil, dan kedua sisinya dilapisi dengan kulit.
  • Tamburin, alat musik pukul yang terbuat dari logam tipis dan biasanya masyarakat Banjar menyebut tamburin dengan nama guguncai.

Cara penyajian

Menurut cara penyajiannya Panting termasuk jenis musik ansambel campuran. Karena terdiri dari berbagai jenis alat musik. Dalam pertunjukan musik Panting, biasanya jumlah pantingnya sebanyak 3 buah dan ditambah alat-alat musik lainnya. Musik panting disebut juga dengan nama japin apabila penyajiannnya diiringi dengan tarian. Musik panting disajikan dengan lagu-lagu yang biasanya bersyair pantun. Pantun tersebut berisi nasihat ataupun pantun petuah, dan pantun jenaka. Lagu yang dinyanyikan monotor, yang artinya musik tersebut dinyanyikan tanpa ada reff. Pemain musik Panting memainkan musik tersebut dengan cara duduk, para pemain laki-laki duduk dengan bersila, sedangkan pemain perempuan duduk dengan bertelimpuh. Para pemain musik Panting pada umumnya mengenakan pakaian Banjar. Yang laki-laki mengenakan peci sebagai tutup kepala sedangkan pemain perempuan menggunakan kerudung.

Fungsi

Musik Panting mempunyai fungsi sebagai :
  • Sebagai hiburan, karena musiknya dan syair-syairnya yang kadang-kadang jenaka dan dapat menghibur orang banyak. Oleh karena itu, musik panting sering digunakan pada acara perkawinan.
  • Sebagai sarana pendidikan, karena di dalam musik Panting syainya berisi tentang nasihat-nasihat dan petuah.
  • Sebagai musik yang memiliki nilai-nilai agama, karena musik-musiknya mengandung unsur-unsur agama.
  • Untuk mempererat tali silaturahmi antar sesama warga masyarakat.
  • Sebagai kesenian musik tradisional yang berasal dari Kalimantan Selatan.

6. LAMUT

Lamut adalah sebuah tradisi berkisah yang berisi cerita tentang pesan dan nilai-nilai keagamaan, sosial dan budaya Banjar. Lamut merupakan seni cerita bertutur, seperti wayang atau cianjuran. Bedanya, wayang atau cianjuran dimainkan dengan seperangkat gamelan dan kecapi, sedangkan lamut dibawakan dengan terbang, alat tabuh untuk seni hadrah.
Mereka yang baru melihat seni lamut selalu mengira kesenian ini mendapat pengaruh dari Timur Tengah. Pada masa Kerajaan Banjar dipimpin Sultan Suriansyah, lamut hidup bersama seni tutur Banjar yang lain, seperti Dundam, Madihin, Bakesah, dan Bapantun.[1]
Pelaksanaan Lamut akan dilakukan pada malam hari mulai pukul 22.00 sampai pukul 04.00 atau menjelang subuh tiba. Pembawa cerita dalam Lamut ini diberi julukan Palamutan. Pada acara, Palamutan dengan membawa terbang besar yang diletakkan dipangkuannya duduk bersandar di tawing halat (dinding tengah), dikelilingi oleh pendengarnya yang terdiri dari tua-muda laki-perempuan. Khusus untuk perempuan disediakan tempat di sebelah dinding tengah tadi.

Sejarah

Lamut berasal dari negeri China, bahasanya pun semula menggunakan bahasa Tionghoa kemudian di terjemahkan kedalam bahasa Banjar. Datangnya lamut di tanah Banjar kira-kira pada tahun 1816 yang di bawa oleh para pedagang Tionghoa ke Banjar hingga ke Amuntai, konon orang-orang dulu sangat menyukainya karena lamut membawa cerita yang sangat banyak dan merupakan cerita pengalaman di banyak negeri yang di sampaikan secara bertutur[1].
Ceritanya, di Amuntai, Raden Ngabe bertemu pedagang China pemilik kapal dagang Bintang Tse Cay. Dari pedagang itulah ia pertama kali mendengar alunan syair China. Dalam pertemuan enam bulan kemudian, Raden Ngabe mendapatkan salinan syair China tersebut.
Sejak itulah Raden Ngabe mempelajari dan melantunkannya, tanpa iringan terbang. Lamut mulai berkembang setelah warga minta dimainkan setiap kali panen padi berhasil baik. Ketika kesenian hadrah masuk di daerah ini, Lamut mendapat iringan terbang.
Seni bertutur itu disebut lamut karasmin karena menjadi hiburan pada perkawinan, hari besar keagamaan, maupun acara nasional. Lamut juga digunakan dalam proses batatamba (penyembuhan penyakit). Orang yang punya hajat dan terkabul biasanya juga mengundang palamutan. Kata "lamut", konon berasal dari bahasa Arab, laamauta (ﻻﻤﻭﺕ) yang artinya tidak mati[1].

Macam-macam Lamut

Lamut Batatamba

Lamut Batatamba (Lamut pengobatan) berfungsi sebagai pengobatan, misalnya untuk anak yang sakit panas yang tidak sembuh-sembuh, atau ada orang yang sulit melahirkan dan lain-lain. pertunjukan lamut batatamba haus disertai dengan sejumlah persyaratan, yaitu piduduk yang terdiri dari perangkat piduduk (sesaji), kemenyan atau perapin (dupa), beras kuning, garam, kelapa utuh, gula merah, dan sepasang benang-jarum. Setelah itu dilakukan tepung tawar dengan mahundang-hundang (mengundang) roh halus, membacakan doa selamat, dan memandikan air yang telah didoakan kepada si sakit[1].

Lamut Baramian

Lamut Baramian (Lamut Hiburan) biasa dihadirkan untuk mengisi acara perkawinan, syukuran, khitanan dan acara hiburan lainnya.
Bila pada wayang ada tokoh punakawan yang terdiri dari Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong, pada Lamut tokohnya adalah Paman Lamut serta tiga anaknya; Anglung, Angsina, dan Labai Buranta. Sedangkan ceritanya sudah berpakem seperti wayang purwa, tentang kerajaan yang dipimpin Prabu Awang Selenong.
Meski tokoh dan pakem cerita lamut tertentu, pengembangan cerita tetap dimungkinkan sesuai kemampuan si pelamutan dalam meramu. Ramuan cerita itu bisa disadur dari kisah Panji, Andi-andi, atau Tutur Candi, bahkan cerita 1.001 malam. Kisah juga bisa menjadi dramatis dengan lakon yang gagah berani atau romantis.
Masyarakat Banjar paling mengharapkan kisah percintaan antara Junjung Masari dan Kasan Mandi. Para penonton hanyut ketika mendengar kisah percintaan kedua tokoh itu dalam syair pantun bahasa Banjar.
Lamut juga digemari warga keturunan Tionghoa di Banjarmasin. Mereka kerap minta lamut dimainkan saat hendak sembahyang di Pulau Kembang di tengah Sungai Barito di Banjarmasin[1].

Fungsi Lamut

Lamut berfungsi :
  1. Sebagai media dakwah agama Islam dan muatan pesan–pesan pemerintah atau pesan dari pengundang Lamut.
  2. Sebagai hiburan
  3. Manyampir, yaitu tradisi bagi keturunan palamutan.
  4. Hajat seperti untuk tolak bala atau doa selamat pada acara kelahiran anak, khitanan atau sunatan, mendapat rejeki. Menurut kepercayaan, kalau menyampir dan hajat ini tidak dilaksanakan maka akan membuat mamingit yakni menyebabkan sakit bagi yang bersangkutan.
  5. Sebagai pendidikan terutama mengenai tata krama kehidupan masyarakat Banjar. Biasanya petatah petitih berupa nasihat, petuah atau bimbingan moral.

Terancam punah

Seni lamut bisa dikatakan bernasib malang karena kini di ambang punah. Satu per satu pelamutan meninggal dunia, sementara proses pewarisan dan regenerasi kesenian itu mandek. Seni berkisah itu juga semakin ditinggalkan karena generasi muda tak lagi tertarik memainkannya. Kini, tak ada organisasi atau lembaga yang peduli kepada lamut, apalagi membina munculnya pelamutan baru[1].


- LOMBA TAPAK TILAS
Lomba ini dilaksanakan setiap tahun dalam rangkaian memperingati Hari Ulang Tahun Proklamasi Gubernur Tentara ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan.
- LOMBA BALANTING PARING (BAMBOO RAFTING)
Lomba Balanting Paring dilaksanakan dalam rangkaian memperingati Hari Jadi Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Kegiatan ini berlangsung selama 3 (tiga) hari antara tanggal 7 s/d 10 Desember setiap tahun.

1 komentar: